SSB MATTOANGING

Selasa, 12 Januari 2010

Piala Dunia, Transfer Budaya, dan Kebangkitan Afrika

Is there any cultural practice more global than football? Sebuah pertanyaan cerdas yang dilontarkan David Goldblatt dalam bukunya The Ball Is Round. Ya, universalitas sepak bola bisa menembus batas agama maupun bahasa untuk mengubah budaya sebuah bangsa.
Ada kisah menarik rekruitmen pesepakbola Afrika di Liga Inggris. Niat Hassan Hegazi semula datang ke Inggris dari Mesir adalah menuntut ilmu. Sembari belajar di London University, ia menyalurkan kegemarannya bermain bola di klub Dulwich Hamlet.
Fulham yang melihat bakat hebat Hassan mengambilnya dengan status amatir. Sempat bermain beberapa gim di Fulham dan Millwall, Hassan akhirnya fokus menuntut ilmu bahasa Arab dan sejarah di universitas Cambridge. Hassan Hegazi adalah orang Afrika pertama yang bermain di klub primer Inggris pada tahun 1911.
Pemain asal Mesir lain, Tewfik Abdullah, datang ke Inggris dengan maksud belajar berdagang mesin-mesin dan peralatan berat pada 1913. Ia iseng bermain sepak bola yang mengantarnya jadi pesepak bola profesional. Ia pernah membela Derby County sebelum hijrah ke liga AS.
Menuntut ilmu dan berdagang adalah keinginan awal intelektual Mesir ke Inggris. Dari negara yang memiliki koloni, Portugal dikenal paling intens mengembangkan sepak bola. Sejak tahun 1950-an, mereka merekrut imigran asal Afrika dijadikan pemain nasional.
Afrika adalah gudang pesepak bola andal. Sejarah kolonialisme menjadi latar belakang mengapa negara-negara Eropa memiliki pesepak bola berkulit gelap. Prancis dan Portugal bahkan menganggap koloni mereka di Afrika sebagai provinsi di luar negeri. “Mereka bisa setiap saat membela tim nasional negara tuannya,” ungkap Franklin Foer dalam bukunya “How Soccer Explains The World”.
Afrika perlu waktu untuk membuktikan esksistensi mereka. Adalah Kamerun yang mengejutkan dunia dengan mencapai perempat final Piala Dunia 1990 di Italia. Kehebatan Kamerun kontan membuat pesepak bola Afrika laku keras.
Afrika Selatan mencoba memanfaatkan momentum kebangkitan Afrika dengan menawarkan diri jadi tuan rumah Piala Dunia 2006. Saat pemilihan di Zurich, Swiss, 6 Juli 2000, Afsel dan Jerman berada di barisan terdepan kandidat tuan rumah. Bahkan Danny Jordaan, ketua bidding Afsel berani berucap “Saya sangat terkejut jika Afsel gagal memenangi tuan rumah Piala Dunia 2006.”
Optimisme Jordaan, mantan dosen dan aktivis yang pernah mendekam di penjara Robben Island selama tujuh tahun ini, meluntur ketika di tikungan akhir Nelson Mandela hanya hadir dalam rupa video. Sebaliknya Jerman, pesaing berat mereka, hadir dengan kanselir Gustav Schroder ditemani supermodel cantik Claudia Schiffer. Afsel kalah tipis 12-11, dimana wakil dari Selandia Baru Charles J. Dempsey (78 tahun) abstain.

Strategi Progresif
Kekalahan itu memang membuat Afrika sakit hati. Peter Alegi dalam jurnal ilmiahnya berjudul ‘Feel the Pull in Your Soul’: Local Agency and Global Trends in South Africa’s 2006 World Cup Bid, mengungkapkan bahwa sepak bola telah mengubah cara pandang bangsa Afrika, khususnya Afrika Selatan, usai kegagalan itu. ”Suatu saat kami pasti memenangi tuan rumah Piala Dunia,” ungkap Thabo Mbeki, presiden Afsel, saat itu.
Perbaikan pun dilakukan Afsel secara sistematis. Program industri olah raga dirancang melibatkan segenap unsur. Dalam bagan ‘Overview of South African Sports Industry Competitiveness (2005), saya melihat Afsel secara sistem dan kultur olah raga sudah siap menjadi tuan rumah FIFA World Cup 2010.
Hasilnya terbukti pada pemilihan tuan rumah pada 2004. Apalagi ada kebijakan pemerataan host Piala Dunia (yang dibatalkan lagi oleh FIFA pada Oktober 2007), saat itu memungkinkan Afrika jadi tuan rumah. Dari tiga negara yang mengikuti putaran akhir, Afsel akhirnya menjadi pemenang dengan 14 suara, Maroko 10, dan Mesir 0.
Namun kemampuan Afsel tetap dipertanyakan. Faktor keamanan, transportasi, dan logistik selalu menjadi sorotan. ”Hati-hati di Afrika,” kata teman-teman saat mereka tahu saya merencanakan perjalanan ke Cape Town, Afsel.

Saat saya masih remaja, Meksiko pernah diguncang gempa yang menewaskan sekitar 10 ribu orang di Meksiko City (1986). Media pun menyangsikan mereka sanggup menjadi tuan rumah Piala Dunia. Namun lewat informasi yang saya baca dari Tabloid BOLA dalam liputan perdana di Piala Dunia1986, Meksiko mampu menuntaskan pekerjaan rumah dan menjadi salah satu penyelenggara Piala Dunia terbaik.
Belajar dari pengalaman Meksiko itu, saya optimistis Afsel akan siap pada waktunya. Petugas keamanan yang jumlahnya mencapai 100 ribu sudah dilatih kontinu oleh Prancis. Tim keamanan FIFA World Cup 2010 juga mempelajari Jerman mengamankan PD 2006, Austria/Swiss di Euro 2008, dan Cina pada Olimpiade Beijing 2008.
Saya juga percaya sepenuhnya pada tulisan David Goldblatt dalam bukunya The Ball Is Round: Is there any cultural practice more global than football? bahwa sepak bola pun bisa mengubah budaya sebuah bangsa menghadapi persaingan global. Ya, asalkan dilakukan dengan mengedepankan pembangunan masyarakat yang cerdas dan beretiket, produktif, mandiri, dan disiplin tinggi.
Afsel, saudara seperjuangan kita semasa Konferensi Asia Afrika, sudah di sana, kapan ya Indonesia?  

eko@bolanews.com
EKO WIDODO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tuliskanlah kata-katamu sendiri, sesukamu...kawan...

sang juara

ARTIKEL (10) KaBar (3) KB (2) KICK OFF (6) OFF-side (2) Teknik Sepak Bola (3)

Arsip Blog