Is there any cultural practice more global than football?
Sebuah pertanyaan cerdas yang dilontarkan David Goldblatt dalam bukunya
The Ball Is Round. Ya, universalitas sepak bola bisa menembus batas
agama maupun bahasa untuk mengubah budaya sebuah bangsa.
Ada
kisah menarik rekruitmen pesepakbola Afrika di Liga Inggris. Niat
Hassan Hegazi semula datang ke Inggris dari Mesir adalah menuntut ilmu.
Sembari belajar di London University, ia menyalurkan kegemarannya
bermain bola di klub Dulwich Hamlet.
Fulham yang melihat bakat hebat Hassan mengambilnya dengan status
amatir. Sempat bermain beberapa gim di Fulham dan Millwall, Hassan
akhirnya fokus menuntut ilmu bahasa Arab dan sejarah di universitas
Cambridge. Hassan Hegazi adalah orang Afrika pertama yang bermain di
klub primer Inggris pada tahun 1911.
Pemain asal Mesir lain, Tewfik Abdullah, datang ke Inggris dengan
maksud belajar berdagang mesin-mesin dan peralatan berat pada 1913. Ia
iseng bermain sepak bola yang mengantarnya jadi pesepak bola
profesional. Ia pernah membela Derby County sebelum hijrah ke liga AS.
Menuntut ilmu dan berdagang adalah keinginan awal intelektual Mesir
ke Inggris. Dari negara yang memiliki koloni, Portugal dikenal paling
intens mengembangkan sepak bola. Sejak tahun 1950-an, mereka merekrut
imigran asal Afrika dijadikan pemain nasional.
Afrika adalah gudang pesepak bola andal. Sejarah kolonialisme
menjadi latar belakang mengapa negara-negara Eropa memiliki pesepak
bola berkulit gelap. Prancis dan Portugal bahkan menganggap koloni
mereka di Afrika sebagai provinsi di luar negeri. “Mereka bisa setiap
saat membela tim nasional negara tuannya,” ungkap Franklin Foer dalam
bukunya “How Soccer Explains The World”.
Afrika perlu waktu untuk membuktikan esksistensi mereka. Adalah
Kamerun yang mengejutkan dunia dengan mencapai perempat final Piala
Dunia 1990 di Italia. Kehebatan Kamerun kontan membuat pesepak bola
Afrika laku keras.
Afrika Selatan mencoba memanfaatkan momentum kebangkitan Afrika
dengan menawarkan diri jadi tuan rumah Piala Dunia 2006. Saat pemilihan
di Zurich, Swiss, 6 Juli 2000, Afsel dan Jerman berada di barisan
terdepan kandidat tuan rumah. Bahkan Danny Jordaan, ketua bidding Afsel
berani berucap “Saya sangat terkejut jika Afsel gagal memenangi tuan
rumah Piala Dunia 2006.”
Optimisme Jordaan, mantan dosen dan aktivis yang pernah mendekam di
penjara Robben Island selama tujuh tahun ini, meluntur ketika di
tikungan akhir Nelson Mandela hanya hadir dalam rupa video. Sebaliknya
Jerman, pesaing berat mereka, hadir dengan kanselir Gustav Schroder
ditemani supermodel cantik Claudia Schiffer. Afsel kalah tipis 12-11,
dimana wakil dari Selandia Baru Charles J. Dempsey (78 tahun) abstain.
Strategi Progresif
Kekalahan itu memang membuat Afrika sakit hati. Peter Alegi dalam
jurnal ilmiahnya berjudul ‘Feel the Pull in Your Soul’: Local Agency
and Global Trends in South Africa’s 2006 World Cup Bid, mengungkapkan
bahwa sepak bola telah mengubah cara pandang bangsa Afrika, khususnya
Afrika Selatan, usai kegagalan itu. ”Suatu saat kami pasti memenangi
tuan rumah Piala Dunia,” ungkap Thabo Mbeki, presiden Afsel, saat itu.
Perbaikan pun dilakukan Afsel secara sistematis. Program industri
olah raga dirancang melibatkan segenap unsur. Dalam bagan ‘Overview of
South African Sports Industry Competitiveness (2005), saya melihat
Afsel secara sistem dan kultur olah raga sudah siap menjadi tuan rumah
FIFA World Cup 2010.
Hasilnya terbukti pada pemilihan tuan rumah pada 2004. Apalagi ada
kebijakan pemerataan host Piala Dunia (yang dibatalkan lagi oleh FIFA
pada Oktober 2007), saat itu memungkinkan Afrika jadi tuan rumah. Dari
tiga negara yang mengikuti putaran akhir, Afsel akhirnya menjadi
pemenang dengan 14 suara, Maroko 10, dan Mesir 0.
Namun kemampuan Afsel tetap dipertanyakan. Faktor keamanan,
transportasi, dan logistik selalu menjadi sorotan. ”Hati-hati di
Afrika,” kata teman-teman saat mereka tahu saya merencanakan perjalanan
ke Cape Town, Afsel.
Saat saya masih remaja, Meksiko pernah diguncang gempa yang
menewaskan sekitar 10 ribu orang di Meksiko City (1986). Media pun
menyangsikan mereka sanggup menjadi tuan rumah Piala Dunia. Namun lewat
informasi yang saya baca dari Tabloid BOLA dalam liputan perdana di
Piala Dunia1986, Meksiko mampu menuntaskan pekerjaan rumah dan menjadi
salah satu penyelenggara Piala Dunia terbaik.
Belajar dari pengalaman Meksiko itu, saya optimistis Afsel akan siap
pada waktunya. Petugas keamanan yang jumlahnya mencapai 100 ribu sudah
dilatih kontinu oleh Prancis. Tim keamanan FIFA World Cup 2010 juga
mempelajari Jerman mengamankan PD 2006, Austria/Swiss di Euro 2008, dan
Cina pada Olimpiade Beijing 2008.
Saya juga percaya sepenuhnya pada tulisan David Goldblatt dalam
bukunya The Ball Is Round: Is there any cultural practice more global
than football? bahwa sepak bola pun bisa mengubah budaya sebuah bangsa
menghadapi persaingan global. Ya, asalkan dilakukan dengan
mengedepankan pembangunan masyarakat yang cerdas dan beretiket,
produktif, mandiri, dan disiplin tinggi.
Afsel, saudara seperjuangan kita semasa Konferensi Asia Afrika, sudah di sana, kapan ya Indonesia?
eko@bolanews.com
EKO WIDODO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
tuliskanlah kata-katamu sendiri, sesukamu...kawan...