“Whoever
invented football should be worshipped as a God”. Sebuah ungkapan yang
tentu saja sulit kita terima ini dilontarkan Hugo Sanchez, seorang
legenda sepak bola Meksiko yang mendapatkan kepopulerannya bersama Real
Madrid di era pertengahan 1980-an.
Worshipped as a God! Dipuja seperti Tuhan? Ah, tentu selalu muncul sebuah sosok yang tak bisa lepas dari pemikiran bila mengaitkan sepak bola dan Tuhan. Armando Diego Maradona, 48 tahun, dengan lakon Gol Tangan Tuhan di Piala Dunia 1986 bahkan sanggup membuat sekelompok orang di Argentina menciptakan aliran agama baru dan gerejanya yang menempatkan Maradona as a God.
Ketika Serie A memasuki masa kejayaan di awal 1990, Maradona memulai torehan emas dalam sepak bola ketika membawa si miskin mengalahkan si kaya. Pemujaan sebagai dewa sepak bola bermula di Napoli. “Pengikutnya” semakin tergila-gila ketika Maradona tampil brilian membawa Argentina ke puncak dunia di Meksiko tahun 1986.
Sayang, selepas pensiun cerita tentang Maradona tak lagi bisa dijadikan bed time story. Bahkan ketika federasi sepak bola Argentina memutuskan memilih Diego Maradona sebagai pelatih kepala menggantikan Alfio Basile, keraguan tak bisa disembunyikan dari mereka yang mengerti bagaimana menjadi seorang pelatih. Jangan heran sebagian dari mereka malah bertaruh soal waktu pemecatan sang dewa. Alasannya sederhana. Bukankah sejarah membuktikan tak semua pesepak bola bernama besar dan harum di masanya mampu menjadi pelatih sukses usai gantung sepatu? Itu sebabnya Pele tahu diri dan menjauh dari kursi panas. Atau, pernahkah Anda mendengar kisah sukses Lothar Matthaeus sebagai head coach? Matthaeus adalah pesepak bola pertama yang terpilih sebagai Pemain Terbaik Dunia versi FIFA tahun 1991.
Apalagi catatan perjalanan Maradona sebagai seorang pelatih di klub Argentina hanya pantas untuk menjadi asisten pelatih Albiceleste, bukan lokomotif penggerak gerbong-gerbong berat karena kepopuleran nama pemainnya. Wajarkah pelatih yang hanya pernah menukangi klub sekelas Mandiyu de Corrientes (1994) dan Racing Club (1995) menjadi tumpuan harapan bangsa Argentina tampil di Piala Dunia? Sungguh, nama besar tidak cukup sebagai jaminan merakit sejumlah berlian indah menjadi sebuah kalung indah dan kokoh.
Benarkah Maradona tak punya konsep kepelatihan yang dibutuhkan untuk mengeluarkan talenta-talenta brilian pasukannya menjadi sebuah senjata maut yang menggetarkan lawan-lawannya? Dalam perjalanan menuju Afrika Selatan 2010, Maradona melakukan hal sebaliknya, ia membuat Argentina menjadi bahan tertawaan negara-negara Amerika Selatan.
Kekalahan dari Brasil, apalagi di markas sendiri dengan angka mencolok 1-3, adalah kesalahan Maradina yang tak bisa dimaafkan. Duel Argentina versus Brasil punya nilai sangat tinggi bagi kedua masyarakat. Klaim sebagai negara pemilik bakat-bakat terbaik sepak bola memuncak dalam perbandingan antara Pele dan Maradona. Ketika dunia dihadapkan pada pemilihan pesepak bola terbaik abad XX, Anda memilih siapa?
Walau sangat jarang menyaksikan ekspresi wajah Maradona sebagai pelatih, kecuali ketika dalam beberapa partai uji coba Argentina melalui televisi lokal, saya bisa mengerti arti raut muka Maradona ketika Brasil mendapatkan gol kedua mereka di Estadio Mundialista, Rosario, pada 5 September 2009. Benar-benar luapan ketidakberdayaan. Maradona tak tahu harus berbuat apa!
Sebelum di tangan Maradona, terakhir kali Argentina kalah di kandang sendiri dalam kualifikasi Piala Dunia terjadi 16 tahun lalu. Ketika itu, Carlos Valderrama dkk. Membawa Kolombia menang 5-0 di Estadio Monumental, September 1993. Jadi, bisa dimengerti bagaimana terpukulnya Maradona oleh gol-gol dari Luisao (2) dan Luis Fabiano di hadapan pendukung sendiri.
Pukulan terhadap Maradona semakin menjadi ketika Paraguay mengalahkan Argentina 1-0 di Asuncio, empat hari kemudian. Albicelestes, Si Putih dan Biru Muda, terdampar di urutan kelima klasemen zona Conmebol. Maradona telah membuat Argentina lepas dari posisi empat jatah langsung tampil di Afrika Selatan 2010. Tuntutan agar ia mengundurkan diri dijawab dengan sebuah keyakinan semu.
Maradona mencari sebuah jawaban yang tak berujung. Ia mengaku tak menyangka berada dalam situasi sulit seperti sekarang. Semua ini di luar perkiraan ketika mendengar namanya dielu-elukan saat diangkat sebagai orang nomor satu di Albicelestes.
Sebuah janji terucap. Sang idola akan mencari solusi dan jalan keluar bagi Argentina. Ia bersumpah akan memberikan segala kemampuannya agar Argentina lolos kualifikasi.
Memang masih ada dua kesempatan bagi Argentina di bulan Oktober untuk menggeser Ekuador dari peringkat empat. Tapi bila semangat dan gairah Lionel Messi dkk. masih mengecewakan seperti di dua partai terakhir, menjamu Peru (10/10) dan kemudian mengunjungi Uruguay (13/10) akan menjadi masa-masa mengerikan bagi pendukung Argentina.
Beban Maradona
Walau kurang memiliki tradisi memecat pelatih, AFA, Asociacion del Futbol Argentino, rasanya tak punya pilihan lain bila Maradona gagal mendapatkan tiga poin dari Peru. Di tangan Alfio Basile, Argentina hanya memetik hasil imbang 1-1 di Peru pada duel pertama. Idealnya, dengan nama besar dan kekayaan ilmu di lapangan hijau, Maradona bisa lebih baik dari Basile, bek era 1960 dan 1970-an yang sinarnya kalah jauh dari si pemilik Gol Tangan Tuhan.
Dengan catatan hanya sekali meraih kemenangan dalam sembilan partai terakhir Peru, tak ada alasan Albicelestes gagal pada 10 Oktober nanti. Pemain-pemain Peru harus dibuat menggigil saat memasuki lapangan karena teror kualitas pasukan Maradona, bukan semata akibat gangguan suporter.
Mengacu pada ucapan Osvaldo Ardiles, senior Maradona di timnas Argentina, saya melihat konsekuensi besar bila Maradona dipertahankan seandainya Albicelestes berhasil meraih tiket ke Afrika Selatan 2010. Sebagai teman dekat, Ardiles melihat Maradona akan tersiksa secara mental dalam persiapan menuju dua laga hidup-mati di Oktober nanti. Bila Argentina gagal, ia khawatir Maradona akan kembali terpuruk ke lembah hitam yang pernah menjeratnya.
Well, kalaupun Albicelestes lolos, saya melihat Maradona hanya akan menjadi sasaran tembak mereka yang tidak menyukai sosok pilihan AFA. Dalam kondisi seperti itu, semua saran dan kritik hanya akan menjadikan Maradona kehilangan kepercayaan. Bukan semata kepercayaan diri, juga kepercayaan dari pasukannya yang mengemban beban berat menjaga status Argentina sebagai calon juara dunia.
Mari kita tunggu, apakah ada perubahan berarti dalam tubuh Albicelestes di bulan Oktober. Secara pribadi, saya ingin membuktikan bahwa Diego Maradona bukan seorang anti-Real Madrid. Memasukkan nama Gonzalo Higuain dalam skuad Argentina sudah cukup, tak perlu mengikutsertakan Fernando Gago atau Ezequiel Garay.
Saat ini, keberadaan Higuain di lini depan Madrid sanggup membuat pelatih Manuel Pellegrini mencari alternatif strategi yang menepikan peran kapten Raul Gonzalez dari daftar starting line-up. Tapi ketika Argentina kalah dari Brasil dan Paraguay, Higuain yang berusia 21 tahun harus menjadi penonton yang baik karena Maradona mengabaikannya. #
Worshipped as a God! Dipuja seperti Tuhan? Ah, tentu selalu muncul sebuah sosok yang tak bisa lepas dari pemikiran bila mengaitkan sepak bola dan Tuhan. Armando Diego Maradona, 48 tahun, dengan lakon Gol Tangan Tuhan di Piala Dunia 1986 bahkan sanggup membuat sekelompok orang di Argentina menciptakan aliran agama baru dan gerejanya yang menempatkan Maradona as a God.
Ketika Serie A memasuki masa kejayaan di awal 1990, Maradona memulai torehan emas dalam sepak bola ketika membawa si miskin mengalahkan si kaya. Pemujaan sebagai dewa sepak bola bermula di Napoli. “Pengikutnya” semakin tergila-gila ketika Maradona tampil brilian membawa Argentina ke puncak dunia di Meksiko tahun 1986.
Sayang, selepas pensiun cerita tentang Maradona tak lagi bisa dijadikan bed time story. Bahkan ketika federasi sepak bola Argentina memutuskan memilih Diego Maradona sebagai pelatih kepala menggantikan Alfio Basile, keraguan tak bisa disembunyikan dari mereka yang mengerti bagaimana menjadi seorang pelatih. Jangan heran sebagian dari mereka malah bertaruh soal waktu pemecatan sang dewa. Alasannya sederhana. Bukankah sejarah membuktikan tak semua pesepak bola bernama besar dan harum di masanya mampu menjadi pelatih sukses usai gantung sepatu? Itu sebabnya Pele tahu diri dan menjauh dari kursi panas. Atau, pernahkah Anda mendengar kisah sukses Lothar Matthaeus sebagai head coach? Matthaeus adalah pesepak bola pertama yang terpilih sebagai Pemain Terbaik Dunia versi FIFA tahun 1991.
Apalagi catatan perjalanan Maradona sebagai seorang pelatih di klub Argentina hanya pantas untuk menjadi asisten pelatih Albiceleste, bukan lokomotif penggerak gerbong-gerbong berat karena kepopuleran nama pemainnya. Wajarkah pelatih yang hanya pernah menukangi klub sekelas Mandiyu de Corrientes (1994) dan Racing Club (1995) menjadi tumpuan harapan bangsa Argentina tampil di Piala Dunia? Sungguh, nama besar tidak cukup sebagai jaminan merakit sejumlah berlian indah menjadi sebuah kalung indah dan kokoh.
Benarkah Maradona tak punya konsep kepelatihan yang dibutuhkan untuk mengeluarkan talenta-talenta brilian pasukannya menjadi sebuah senjata maut yang menggetarkan lawan-lawannya? Dalam perjalanan menuju Afrika Selatan 2010, Maradona melakukan hal sebaliknya, ia membuat Argentina menjadi bahan tertawaan negara-negara Amerika Selatan.
Kekalahan dari Brasil, apalagi di markas sendiri dengan angka mencolok 1-3, adalah kesalahan Maradina yang tak bisa dimaafkan. Duel Argentina versus Brasil punya nilai sangat tinggi bagi kedua masyarakat. Klaim sebagai negara pemilik bakat-bakat terbaik sepak bola memuncak dalam perbandingan antara Pele dan Maradona. Ketika dunia dihadapkan pada pemilihan pesepak bola terbaik abad XX, Anda memilih siapa?
Walau sangat jarang menyaksikan ekspresi wajah Maradona sebagai pelatih, kecuali ketika dalam beberapa partai uji coba Argentina melalui televisi lokal, saya bisa mengerti arti raut muka Maradona ketika Brasil mendapatkan gol kedua mereka di Estadio Mundialista, Rosario, pada 5 September 2009. Benar-benar luapan ketidakberdayaan. Maradona tak tahu harus berbuat apa!
Sebelum di tangan Maradona, terakhir kali Argentina kalah di kandang sendiri dalam kualifikasi Piala Dunia terjadi 16 tahun lalu. Ketika itu, Carlos Valderrama dkk. Membawa Kolombia menang 5-0 di Estadio Monumental, September 1993. Jadi, bisa dimengerti bagaimana terpukulnya Maradona oleh gol-gol dari Luisao (2) dan Luis Fabiano di hadapan pendukung sendiri.
Pukulan terhadap Maradona semakin menjadi ketika Paraguay mengalahkan Argentina 1-0 di Asuncio, empat hari kemudian. Albicelestes, Si Putih dan Biru Muda, terdampar di urutan kelima klasemen zona Conmebol. Maradona telah membuat Argentina lepas dari posisi empat jatah langsung tampil di Afrika Selatan 2010. Tuntutan agar ia mengundurkan diri dijawab dengan sebuah keyakinan semu.
Maradona mencari sebuah jawaban yang tak berujung. Ia mengaku tak menyangka berada dalam situasi sulit seperti sekarang. Semua ini di luar perkiraan ketika mendengar namanya dielu-elukan saat diangkat sebagai orang nomor satu di Albicelestes.
Sebuah janji terucap. Sang idola akan mencari solusi dan jalan keluar bagi Argentina. Ia bersumpah akan memberikan segala kemampuannya agar Argentina lolos kualifikasi.
Memang masih ada dua kesempatan bagi Argentina di bulan Oktober untuk menggeser Ekuador dari peringkat empat. Tapi bila semangat dan gairah Lionel Messi dkk. masih mengecewakan seperti di dua partai terakhir, menjamu Peru (10/10) dan kemudian mengunjungi Uruguay (13/10) akan menjadi masa-masa mengerikan bagi pendukung Argentina.
Beban Maradona
Walau kurang memiliki tradisi memecat pelatih, AFA, Asociacion del Futbol Argentino, rasanya tak punya pilihan lain bila Maradona gagal mendapatkan tiga poin dari Peru. Di tangan Alfio Basile, Argentina hanya memetik hasil imbang 1-1 di Peru pada duel pertama. Idealnya, dengan nama besar dan kekayaan ilmu di lapangan hijau, Maradona bisa lebih baik dari Basile, bek era 1960 dan 1970-an yang sinarnya kalah jauh dari si pemilik Gol Tangan Tuhan.
Dengan catatan hanya sekali meraih kemenangan dalam sembilan partai terakhir Peru, tak ada alasan Albicelestes gagal pada 10 Oktober nanti. Pemain-pemain Peru harus dibuat menggigil saat memasuki lapangan karena teror kualitas pasukan Maradona, bukan semata akibat gangguan suporter.
Mengacu pada ucapan Osvaldo Ardiles, senior Maradona di timnas Argentina, saya melihat konsekuensi besar bila Maradona dipertahankan seandainya Albicelestes berhasil meraih tiket ke Afrika Selatan 2010. Sebagai teman dekat, Ardiles melihat Maradona akan tersiksa secara mental dalam persiapan menuju dua laga hidup-mati di Oktober nanti. Bila Argentina gagal, ia khawatir Maradona akan kembali terpuruk ke lembah hitam yang pernah menjeratnya.
Well, kalaupun Albicelestes lolos, saya melihat Maradona hanya akan menjadi sasaran tembak mereka yang tidak menyukai sosok pilihan AFA. Dalam kondisi seperti itu, semua saran dan kritik hanya akan menjadikan Maradona kehilangan kepercayaan. Bukan semata kepercayaan diri, juga kepercayaan dari pasukannya yang mengemban beban berat menjaga status Argentina sebagai calon juara dunia.
Mari kita tunggu, apakah ada perubahan berarti dalam tubuh Albicelestes di bulan Oktober. Secara pribadi, saya ingin membuktikan bahwa Diego Maradona bukan seorang anti-Real Madrid. Memasukkan nama Gonzalo Higuain dalam skuad Argentina sudah cukup, tak perlu mengikutsertakan Fernando Gago atau Ezequiel Garay.
Saat ini, keberadaan Higuain di lini depan Madrid sanggup membuat pelatih Manuel Pellegrini mencari alternatif strategi yang menepikan peran kapten Raul Gonzalez dari daftar starting line-up. Tapi ketika Argentina kalah dari Brasil dan Paraguay, Higuain yang berusia 21 tahun harus menjadi penonton yang baik karena Maradona mengabaikannya. #
Mereka bintang dan legenda dalam sepak bola dunia. orang-orang yang bekerja keras dengan kemampuan dan bakatnya. Mereka selalu mempesona, mengagumkan, dan membanggakan para suporternya di seluruh dunia.
BalasHapusDaftar Pemain Terbaik Dunia (dari tahun 1991)
1991 - Lothar Matthaeus (Jerman)
1992 - Marco van Basten (Belanda)
1993 - Roberto Baggio (Italia)
1994 - Romario (Brasil)
1995 - George Weah (Liberia)
1996 - Ronaldo (Brasil)
1997 - Ronaldo (Brasil)
1998 - Zinedine Zidane (Prancis)
1999 - Rivaldo (Brasil)
2000 - Zidane (Prancis
2001 - Luis Figo (Portugal)
2002 - Ronaldo (Brasil)
2003 - Zidane (Prancis)
2004 - Ronaldinho (Brasil)
2005 - Ronaldinho (Brasil)
2006 - Fabio Cannavaro (Italia)
2007 - Kaka (Brasil)
2008 - Cristiano Ronaldo (Portugal)
2009 - Lionel Messi (Argentina)
KELELAWAR
BalasHapusKELELAWAR
Silau oleh sinar lampu lalulintas
Aku menunduk memandang sepatuku.
Aku gentayangan bagai kelelawar.
Tidak gembira, tidak sedih.
Terapung dalam waktu.
Ma, aku melihatmu di setiap ujung jalan.
Sungguh tidak menyangka
Begitu penuh kamu mengisi buku alamat batinku.
Sekarang aku kembali berjalan.
Apakah aku akan menelefon teman?
Apakah aku akan makan udang gapit di restoran?
Aku sebel terhadap cendikiawan yang menolak menjadi saksi.
Masalah sosial dipoles gincu menjadi fizika.
Sikap jiwa dianggap maya dibanding mobil berlapis baja.
Hanya kamu yang enak diajak bicara.
Kakiku melangkah melewati sampah-sampah.
Akan menulis sajak-sajak lagi.
Rasa berdaya tidak bisa mati begitu saja.
Ke sini, Ma, masuklah ke dalam saku bajuku.
Daya hidup menjadi kamu, menjadi harapan.
~ W.S. Rendra ~
SAJAK PERTEMUAN MAHASISWA
BalasHapusMatahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit
melihat kali coklat menjalar ke lautan
dan mendengar dengung di dalam hutan
lalu kini ia dua penggalah tingginya
dan ia menjadi saksi kita berkumpul disini
memeriksa keadaan
kita bertanya :
kenapa maksud baik tidak selalu berguna
kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga
orang berkata : “kami ada maksud baik”
dan kita bertanya : “maksud baik untuk siapa ?”
ya !
ada yang jaya, ada yang terhina
ada yang bersenjata, ada yang terluka
ada yang duduk, ada yang diduduki
ada yang berlimpah, ada yang terkuras
dan kita disini bertanya :
“maksud baik saudara untuk siapa ?
saudara berdiri di pihak yang mana ?”
kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya
tanah – tanah di gunung telah dimiliki orang – orang kota
perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja
alat – alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya
tentu, kita bertanya :
“lantas maksud baik saudara untuk siapa ?”
sekarang matahari semakin tinggi
lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala
dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
ilmu – ilmu diajarkan disini
akan menjadi alat pembebasan
ataukah alat penindasan ?
sebentar lagi matahari akan tenggelam
malam akan tiba
cicak – cicak berbunyi di tembok
dan rembulan berlayar
tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda
akan hidup di dalam mimpi
akan tumbuh di kebon belakang
dan esok hari
matahari akan terbit kembali
sementara hari baru menjelma
pertanyaan – pertanyaan kita menjadi hutan
atau masuk ke sungai
menjadi ombak di samodra
di bawah matahari ini kita bertanya :
ada yang menangis, ada yang mendera
ada yang habis, ada yang mengikis
dan maksud baik kita
berdiri di pihak yang mana !
~ W.S Rendra ~
( jakarta, 1 desember 1977)
• Sajak ini dipersembahkan kepada para mahasiswa universitas indonesia di jakarta dan dibacakan di dalam salah satu adegan film “yang muda yang bercinta” yang disutradarai oleh Sumandjaya
• Dari kumpulan puisi “potret pembangunan dalam puisi” ( pustaka jaya – 1996 )
\
HERMAN LILO
hermanlilo@yahoo.co.id