Hanya
tersenyum ketika mendengar ajang bernama Community Shield yang
mempertemukan Persipura (juara Liga Super) dan Sriwijaya FC (juara
Piala Indonesia). Kejuaraan yang di banyak negara disebut Super Cup
alias Piala Super ini pasti menjiplak dari Inggris, satu-satunya negara
yang memakai nama tersebut, selain penirunya.
Apa yang ada di benak pencetus nama Community Shield? Apa paham sejarah dan makna Community Shield? Kenapa melupakan kulit dan tidak bangga memakai bahasa atau nama yang diambil dari sejarah sepak bola negeri sendiri? Community Shield juga lahir dari proses panjang sejarah sepak bola mereka.
Rasanya lebih pas jika memakai nama Piala Super, bahkan lebih terhormat jika mamakai nama pejuang sepak bola untuk menghargai jasa-jasa mereka. Pendiri PSSI, Ir. Soeratin Sosrosoegondo sudah diabadikan untuk kejuaraan Liga Remaja U-18, tapi kita masih memiliki banyak nama yang bisa dipakai sebagai penghormatan atas perjuangan mereka misalnya Piala Saelan, Piala Ramang, Piala Witarsa, Piala Ramlan, Piala Maladi, atau Piala Pattinasarani.
Maulwi Saelan, Ramang, Endang Witarsa, dan Ramlan Yatim adalah sebagian pemain kunci tim nasional saat mengharumkan nama Indonesia di Olimpiade 1956 di Melbourne, Australia. Perjuangan mereka di dalam maupun di luar lapangan patut menjadi anutan.
Di Melbourne mereka menahan Uni Soviet 0-0 pada 29 November. Ketika itu sepak bola belum mengenal adu penalti sehingga pertandingan diulang dua hari kemudian. Padahal Indonesia hanya menyiapkan 13 pemain dan ironisnya 2 pemain yakni Siang Liong Phwa dan Ashari Danoe cedera pada pertemuan pertama. Sedangkan Uni Soviet menyiapkan 18 pemain termasuk bintang-bintangnya dalam kondisi fit seperti Sergei Salnikov, Valentin Ivanov, serta tentu saja kiper legendaris, Lev Yashin. Indonesia akhirnya menyerah 0-4.
Dalam dua pertandingan tersebut, Saelan, sebagai kiper harus berjibaku menahan gempuran pemain-pemain Uni Soviet. Perjuangan Saelan bukan hanya di lapangan, tapi ia juga pernah memimpin PSSI pada 1964-1967. Di karier tentara, Saelan sempat menjadi Wakil Komandan Yon VII/CPM Makassar, lantas kepala staf dan wakil komandan Resimen Tjakrabirawa, serta ajudan Presiden Soekarno, menjelang kejatuhan sang presiden sehingga ia termasuk salah satu saksi sejarah yang memahami kehidupan Soekarno di akhir kariernya.
Endang Witarsa adalah dokter gigi yang sangat cinta sepak bola dan mengabdikan hidupnya untuk dunia sepak bola sejak muda hingga meninggal di usia 91 tahun. Pada era sebagai pemain, ia memberikan beberapa gelar juara seperti Piala Raja Thailand 1968 dan Merdeka Games Malaysia 1969. Sedangkan sebagai pelatih, Endang menghasilkan banyak pemain top seperti Risdianto, Iswadi Idris, Yudo Hadianto, Ronny Paslah, Warta Kusumah, Surya Lesmana, Bambang Sunarto, Sucipto Suntoro, hingga Widodo C. Putro.
Ramang merupakan penyerang yang sangat ditakuti di era 1950-an, bukan hanya di Indonesia tapi juga di Asia. Pada tahun 1954 saat rangkaian pertandingan melawan Filipina, Hong Kong, Thailand, dan Malaysia, sosok yang berprofesi sebagai tukang becak dan kenek truk itu, mencetak 19 gol dari 25 gol yang dihasilkan Indonesia.
Ramlan Yatim adalah kapten tim ketika melawan Uni Soviet. Pengalaman yang membuatnya matang untuk memimpin timnas. Ia tercatat sebagai pemain Indonesia pertama yang bermain di luar negeri yakni untuk Penang dan Singapura pada akhir 1940-an.
R. Maladi adalah kiper tangguh di awal pembentukan tim PSSI pada tahun 1930-an. Kalau saja NIVU (Nederlandsh Indische Voetbal Unie) tidak mengingkari perjanjian dengan PSSI, bisa jadi Maladi yang tampil di Piala Dunia 1938 di Prancis.
Pada 1938, negeri ini diundang untuk tampil di Coupe du Monde. NIVU dan PSSI kemudian membuat kesepakatan pada 5 Januari 1937, salah satu butirnya yakni dilakukan pertandingan antara tim bentukan NIVU melawan tim bentukan PSSI sebelum diberangkatkan ke Piala Dunia atau semacam seleksi tim.
Namun, NIVU melanggar perjanjian dan memberangkatkan tim bentukannya. NIVU pasti tidak mau kehilangan muka karena PSSI di masa itu memiliki tim yang kuat, termasuk kipernya adalah Maladi. Hal itu membuat Soeratin sangat marah dan PSSI lantas membatalkan secara sepihak perjanjian dengan NIVU saat Kongres PSSI di Solo pada 1938.
Tim yang diberangkatakan NIVU merupakan campuran pemain berdarah Belanda dan 9 pemain keturunan cina dan pribumi. Beberapa nama melayu yang tampil di Coupe du Monde adalah Achmad Nawir, Anwar Sutan, dan Soedarmadji. Tetapi, mereka tidak dianggap sebagai kebanggaan wakil Indonesia karena bentukan NIVU dan tampil dengan memakai bendera Dutch East Indies. Mereka pun langsung tersingkir setelah dibantai 0-6 oleh Hongaria dari babak awal.
Pendirian PSSI
Sepak bola Indonesia sudah tumbuh sejak awal 1900. Klub pertama yang didirikan di Hindia Belanda konon di Surabaya oleh John Edgar pada 1895. Kemudian di Padang berdiri klub pertama dengan nama Padangsche Voetbal Club pada 1901. Selanjutnya pada 2 November 1915 dilahirkan Makassar Voetbal Bond (MVB) dan menjadi embrio klub PSM. Empat tahun berselang, Indonesische Voetbal Bond Magelang (IVBM) yang kini menjadi PSSM Magelang lahir pada 1919.
Selanjutnya klub-klub sepakbola menyebar ke berbagai daerah. Pada 1923 di Solo didirikan Vorstenlandsche Voetbal Bond (VVB) yang menjadi awal kelahiran Persis Solo. Di era 1930 dan 1940-an, VVB menjadi salah satu basis kekuatan sepak bola dan kerap menjadi juara nasional. Setelah itu Soerabhaiasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB) kini menjadi Persebaya dibentuk pada 1927, disusul Voetbalbond Indonesische Jakarta (VIJ) yang menjadi cikal bakal Persija pada 1928. Kemudian pada 5 September 1929, Persatuan Sepak Raga Mataram (PSM) didirikan, dan berubah nama menjadi PSIM pada 27 Juli 1930.
Diprakarsai oleh Soeratin, bersama Daslam Hadiwasito, A. Hamid, dan M. Amir Notopratomo (pengurus PSM), serta Sjamsoedin (VIJ/saat itu masih mahasiswa RHS), Gatot (BIVB), Kartodarmoedjo (MVB), E.A. Mangindaan (IVBM/saat itu masih menjadi siswa HKS atau Sekolah Guru dan juga kapten tim IVBM), Pamoedji (SIVB), dan Soekarno (VVB, bukan Bung Karno) pada 19 April 1930 bertemu untuk membahas pendirian Persatoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia (PSSI) di Societeit Hadiprojo Yogyakarta.
BIVB adalah Bandoeng Inlandsche Voetbal Bond yang kemudian menjadi Persib secara resmi lahir pada 1933, tapi sebetulnya sudah ada beberapa tahun sebelumnya termasuk turut memprakarsai pendirian Persatoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia yang selanjutnya diubah menjadi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia dan menetapkan Ir. Soeratin sebagai ketua umum pertama.
Soeratin lahir pada 17 Desember 1898 di Yogyakarta. Ayahnya adalah R. Soesrosoegondo, seorang guru dan pengarang buku. Istri Soeratin yakni R. A. Srie Woelan adalah adik kandung Dr Soetomo, tokoh pendiri Budi Utomo. Soeratin menyelesaikan sekolah dari KWS (Koningen Wilhelmina School) di Jakarta, kemudian pada 1920 melanjutkan sekolah ke Sekolah Teknik Tinggi di Hecklenburg, Jerman.
Soeratin menyelesaikan kuliah pada 1927 dan setahun kemudian pulang untuk bekerja di perusahaan konstruksi besar milik Belanda yakni Sizten en Lausada yang berpusat di Yogyakarta. Disana ia menjadi satu–satunya orang pribumi yang duduk dalam jajaran petinggi perusahaan dengan gaji tinggi.
Soeratin memandang sepak bola bisa menjadi alat pemersatu dan menjadi wujud dari Sumpah Pemuda yang dikumandangkan pada 1928. Ia bahkan memilih untuk meninggalkan pekerjaan demi berjuang melalui sepak bola, mendirikan PSSI dan kompetisi secara rutin sejak 1931.
Pada era 50-an, tepatnya sewaktu Indonesia tampil di Olimpiade 1956, giliran Maladi yang memimpin PSSI (1950-1959). Di masa itu, Maladi mendatangkan pelatih Yugoslavia, Antun "Toni" Pogacnik untuk menangani timnas pada 1954-1959. Setelah memimpin PSSI, Maladi diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi Menteri Penerangan 1959-1962 dan kemudian Menteri Olah Raga 1962-1967.
Dari generasi yang lebih muda, ada Ronny Pattinasarani, kapten timnas yang melejit di era 1970-1980-an. Ia adalah pemain kunci saat timnas meraih perak pada SEA Games 1979 dan 1981, serta pernah masuk pemain Asia All-Star 1982. Intinya sejarah panjang telah mewarnai perjalanan sepak bola Indonesia. Banyak yang bisa kita jadikan anutan, bukan malah menjiplak karya dan sejarah orang lain.
Makna Community Shield
Community Shield di Inggris lahir dari berbagai liku perjalanan sejarah sepak bola di negeri tersebut. Embrio kejuaraan ini adalah Sheriff of London Charity Shield yang dimainkan sejak 1898. Ajang ini setiap tahun mempertandingkan klub profesional terbaik dengan klub amatir terbaik. Pada 1904, klub amatir paling terkenal di Inggris pada masa itu, Corinthians mampu membantai juara Piala FA, Bury, dengan skor 10-3!
Mulai 1908, kejuaraan tersebut diubah hanya memakai nama Charity Shield. Pada 1974, Sekretaris FA, Ted Croker, memprakarsai The FA Charity Shield sebagai ajang yang dimainkan di Wembley menjelang musim kompetisi baru dimulai. Pertandingan pun harus mempertemukan juara liga dan juara Piala FA. Aturan itu mengangkat gengsi Shield karena sebelumnya pertandingan berpindah-pindah dan sering melibatkan tim yang tidak mendapatkan prestasi apa-apa pada musim sebelumnya.
Ketika Wembley direnovasi, tujuh penyelenggaraan Shield pada 2001-2007 digelar di Stadium Millennium, Cardiff, dan setelah renovasi kelar, pertandingan kembali ke New Wembley. Shield menjadi salah satu partai domestik terpenting ketika disaksikan oleh 63.317 penonton yang mempertandingkan Arsenal melawan Manchester United, Agustus 2004.
Shield bukan hanya pertandingan di lapangan, tetapi memiliki makna yang lebih dalam karena sejak awal pentas ini merupakan laga amal sebagai bantuan yang disalurkan Community Shield Fund untuk klub-klub di komunitas sepak bola terbawah serta kegiatan-kegiatan amal di seluruh Inggris. Pengumpulan dana diperoleh dari penjualan tiket dan penjualan buku program pertandingan. Bantuan tersebut diberikan kepada klub-klub yang bertanding pada putaran pertama Piala FA dan disumbangkan melalui FA Charity Partners atau partner-partner amal Football Association.
Tahun lalu misalnya, Community Shield Fund menyumbang Farleigh Hospice dam Broomfield Hospital’s Intensive Care Unit dan awal tahun 2009 memberikan bantuan kepada Hartlepool Hospice, Butterwick Children's Hospice, dan Great North Air Ambulance.
“Ini contoh nyata dari semangat community dan saya ingin berterima kasih atas nama pasien dan keluarganya,” kata Debbie de Boltz, Corporate Fundraiser dari Fairleigh Hospice.
Secara jumlah mungkin tidak terlalu besar karena Community Shield Fund membantu dalam jumlah 1.666 pound hingga 5.000 pound atau sekitar 25 juta hingga 75 juta rupiah. Dana yang dikumpulkan dari 1974 hingga 2000, sebelum Wembley direnovasi, pun terhitung hanya 5 juta pound atau sekitar 76 miliar. Tapi, dorongan dan rutinitas bantuan yang diberikan lebih bermakna dari pada menjiplak nama tapi tidak tahu maknanya.
Apakah Community Shield ala PSSI dijiwai makna seperti Community Shield yang asli? Padahal kita tengah prihatin oleh berbagai bencana khususnya gempa di Padang, Jambi, dan Tasikmalaya. Dan saya sih lebih bangga jika ajang itu diberi nama Piala Ramang atau Piala Maladi seperti di Belanda yang bangga dengan nama Johan Cruijff Schall untuk ajang serupa yang mempertemukan juara liga dan piala domestik.
Negara-negara lain juga punya nama dengan bahasa sendiri seperti Supercoppa Italiana, DFB-Ligapokal, atau Supercopa de Espana. Di Thailand ada Kor Royal Cup dan di Malaysia, yang dianggap suka menjiplak karya negeri ini, juga lebih suka memakai nama Sultan Haji Ahmad Shah Cup. Kenapa kita tiba-tiba memakai nama Community Shield?
Sama halnya dengan Copa yang dipakai untuk nama kejuaraan domestik kasta kedua setelah liga. Kata Copa diambil dari bahasa Spanyol dan Portugis yang artinya piala. Kenapa tidak bangga dengan memakai nama Piala PSSI? Di negara-ngera lain pun mereka bangga dengan memakai bahasa dan federasi sepakbola sendiri seperti FA Cup, DFB Pokal, Coupe de France, Copa del Rey, dan KNVB Beker. Atau seperti halnya di atas, kita tentu akan sangat bangga jika pahlawan sepak bola kita dipakai untuk kejuaraan itu seperti Piala Maladi, Piala Ramang, atau Piala Pattinasarani. Nama Copa terasa janggal dan jangan sampai salah kaprah seperti di sebuah televisi ada yang pernah menyebut Piala Copa untuk kejuaraan tersebut. Piala Copa???Community Shield, PSSI Lupa Kulit
Apa yang ada di benak pencetus nama Community Shield? Apa paham sejarah dan makna Community Shield? Kenapa melupakan kulit dan tidak bangga memakai bahasa atau nama yang diambil dari sejarah sepak bola negeri sendiri? Community Shield juga lahir dari proses panjang sejarah sepak bola mereka.
Rasanya lebih pas jika memakai nama Piala Super, bahkan lebih terhormat jika mamakai nama pejuang sepak bola untuk menghargai jasa-jasa mereka. Pendiri PSSI, Ir. Soeratin Sosrosoegondo sudah diabadikan untuk kejuaraan Liga Remaja U-18, tapi kita masih memiliki banyak nama yang bisa dipakai sebagai penghormatan atas perjuangan mereka misalnya Piala Saelan, Piala Ramang, Piala Witarsa, Piala Ramlan, Piala Maladi, atau Piala Pattinasarani.
Maulwi Saelan, Ramang, Endang Witarsa, dan Ramlan Yatim adalah sebagian pemain kunci tim nasional saat mengharumkan nama Indonesia di Olimpiade 1956 di Melbourne, Australia. Perjuangan mereka di dalam maupun di luar lapangan patut menjadi anutan.
Di Melbourne mereka menahan Uni Soviet 0-0 pada 29 November. Ketika itu sepak bola belum mengenal adu penalti sehingga pertandingan diulang dua hari kemudian. Padahal Indonesia hanya menyiapkan 13 pemain dan ironisnya 2 pemain yakni Siang Liong Phwa dan Ashari Danoe cedera pada pertemuan pertama. Sedangkan Uni Soviet menyiapkan 18 pemain termasuk bintang-bintangnya dalam kondisi fit seperti Sergei Salnikov, Valentin Ivanov, serta tentu saja kiper legendaris, Lev Yashin. Indonesia akhirnya menyerah 0-4.
Dalam dua pertandingan tersebut, Saelan, sebagai kiper harus berjibaku menahan gempuran pemain-pemain Uni Soviet. Perjuangan Saelan bukan hanya di lapangan, tapi ia juga pernah memimpin PSSI pada 1964-1967. Di karier tentara, Saelan sempat menjadi Wakil Komandan Yon VII/CPM Makassar, lantas kepala staf dan wakil komandan Resimen Tjakrabirawa, serta ajudan Presiden Soekarno, menjelang kejatuhan sang presiden sehingga ia termasuk salah satu saksi sejarah yang memahami kehidupan Soekarno di akhir kariernya.
Endang Witarsa adalah dokter gigi yang sangat cinta sepak bola dan mengabdikan hidupnya untuk dunia sepak bola sejak muda hingga meninggal di usia 91 tahun. Pada era sebagai pemain, ia memberikan beberapa gelar juara seperti Piala Raja Thailand 1968 dan Merdeka Games Malaysia 1969. Sedangkan sebagai pelatih, Endang menghasilkan banyak pemain top seperti Risdianto, Iswadi Idris, Yudo Hadianto, Ronny Paslah, Warta Kusumah, Surya Lesmana, Bambang Sunarto, Sucipto Suntoro, hingga Widodo C. Putro.
Ramang merupakan penyerang yang sangat ditakuti di era 1950-an, bukan hanya di Indonesia tapi juga di Asia. Pada tahun 1954 saat rangkaian pertandingan melawan Filipina, Hong Kong, Thailand, dan Malaysia, sosok yang berprofesi sebagai tukang becak dan kenek truk itu, mencetak 19 gol dari 25 gol yang dihasilkan Indonesia.
Ramlan Yatim adalah kapten tim ketika melawan Uni Soviet. Pengalaman yang membuatnya matang untuk memimpin timnas. Ia tercatat sebagai pemain Indonesia pertama yang bermain di luar negeri yakni untuk Penang dan Singapura pada akhir 1940-an.
R. Maladi adalah kiper tangguh di awal pembentukan tim PSSI pada tahun 1930-an. Kalau saja NIVU (Nederlandsh Indische Voetbal Unie) tidak mengingkari perjanjian dengan PSSI, bisa jadi Maladi yang tampil di Piala Dunia 1938 di Prancis.
Pada 1938, negeri ini diundang untuk tampil di Coupe du Monde. NIVU dan PSSI kemudian membuat kesepakatan pada 5 Januari 1937, salah satu butirnya yakni dilakukan pertandingan antara tim bentukan NIVU melawan tim bentukan PSSI sebelum diberangkatkan ke Piala Dunia atau semacam seleksi tim.
Namun, NIVU melanggar perjanjian dan memberangkatkan tim bentukannya. NIVU pasti tidak mau kehilangan muka karena PSSI di masa itu memiliki tim yang kuat, termasuk kipernya adalah Maladi. Hal itu membuat Soeratin sangat marah dan PSSI lantas membatalkan secara sepihak perjanjian dengan NIVU saat Kongres PSSI di Solo pada 1938.
Tim yang diberangkatakan NIVU merupakan campuran pemain berdarah Belanda dan 9 pemain keturunan cina dan pribumi. Beberapa nama melayu yang tampil di Coupe du Monde adalah Achmad Nawir, Anwar Sutan, dan Soedarmadji. Tetapi, mereka tidak dianggap sebagai kebanggaan wakil Indonesia karena bentukan NIVU dan tampil dengan memakai bendera Dutch East Indies. Mereka pun langsung tersingkir setelah dibantai 0-6 oleh Hongaria dari babak awal.
Pendirian PSSI
Sepak bola Indonesia sudah tumbuh sejak awal 1900. Klub pertama yang didirikan di Hindia Belanda konon di Surabaya oleh John Edgar pada 1895. Kemudian di Padang berdiri klub pertama dengan nama Padangsche Voetbal Club pada 1901. Selanjutnya pada 2 November 1915 dilahirkan Makassar Voetbal Bond (MVB) dan menjadi embrio klub PSM. Empat tahun berselang, Indonesische Voetbal Bond Magelang (IVBM) yang kini menjadi PSSM Magelang lahir pada 1919.
Selanjutnya klub-klub sepakbola menyebar ke berbagai daerah. Pada 1923 di Solo didirikan Vorstenlandsche Voetbal Bond (VVB) yang menjadi awal kelahiran Persis Solo. Di era 1930 dan 1940-an, VVB menjadi salah satu basis kekuatan sepak bola dan kerap menjadi juara nasional. Setelah itu Soerabhaiasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB) kini menjadi Persebaya dibentuk pada 1927, disusul Voetbalbond Indonesische Jakarta (VIJ) yang menjadi cikal bakal Persija pada 1928. Kemudian pada 5 September 1929, Persatuan Sepak Raga Mataram (PSM) didirikan, dan berubah nama menjadi PSIM pada 27 Juli 1930.
Diprakarsai oleh Soeratin, bersama Daslam Hadiwasito, A. Hamid, dan M. Amir Notopratomo (pengurus PSM), serta Sjamsoedin (VIJ/saat itu masih mahasiswa RHS), Gatot (BIVB), Kartodarmoedjo (MVB), E.A. Mangindaan (IVBM/saat itu masih menjadi siswa HKS atau Sekolah Guru dan juga kapten tim IVBM), Pamoedji (SIVB), dan Soekarno (VVB, bukan Bung Karno) pada 19 April 1930 bertemu untuk membahas pendirian Persatoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia (PSSI) di Societeit Hadiprojo Yogyakarta.
BIVB adalah Bandoeng Inlandsche Voetbal Bond yang kemudian menjadi Persib secara resmi lahir pada 1933, tapi sebetulnya sudah ada beberapa tahun sebelumnya termasuk turut memprakarsai pendirian Persatoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia yang selanjutnya diubah menjadi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia dan menetapkan Ir. Soeratin sebagai ketua umum pertama.
Soeratin lahir pada 17 Desember 1898 di Yogyakarta. Ayahnya adalah R. Soesrosoegondo, seorang guru dan pengarang buku. Istri Soeratin yakni R. A. Srie Woelan adalah adik kandung Dr Soetomo, tokoh pendiri Budi Utomo. Soeratin menyelesaikan sekolah dari KWS (Koningen Wilhelmina School) di Jakarta, kemudian pada 1920 melanjutkan sekolah ke Sekolah Teknik Tinggi di Hecklenburg, Jerman.
Soeratin menyelesaikan kuliah pada 1927 dan setahun kemudian pulang untuk bekerja di perusahaan konstruksi besar milik Belanda yakni Sizten en Lausada yang berpusat di Yogyakarta. Disana ia menjadi satu–satunya orang pribumi yang duduk dalam jajaran petinggi perusahaan dengan gaji tinggi.
Soeratin memandang sepak bola bisa menjadi alat pemersatu dan menjadi wujud dari Sumpah Pemuda yang dikumandangkan pada 1928. Ia bahkan memilih untuk meninggalkan pekerjaan demi berjuang melalui sepak bola, mendirikan PSSI dan kompetisi secara rutin sejak 1931.
Pada era 50-an, tepatnya sewaktu Indonesia tampil di Olimpiade 1956, giliran Maladi yang memimpin PSSI (1950-1959). Di masa itu, Maladi mendatangkan pelatih Yugoslavia, Antun "Toni" Pogacnik untuk menangani timnas pada 1954-1959. Setelah memimpin PSSI, Maladi diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi Menteri Penerangan 1959-1962 dan kemudian Menteri Olah Raga 1962-1967.
Dari generasi yang lebih muda, ada Ronny Pattinasarani, kapten timnas yang melejit di era 1970-1980-an. Ia adalah pemain kunci saat timnas meraih perak pada SEA Games 1979 dan 1981, serta pernah masuk pemain Asia All-Star 1982. Intinya sejarah panjang telah mewarnai perjalanan sepak bola Indonesia. Banyak yang bisa kita jadikan anutan, bukan malah menjiplak karya dan sejarah orang lain.
Makna Community Shield
Community Shield di Inggris lahir dari berbagai liku perjalanan sejarah sepak bola di negeri tersebut. Embrio kejuaraan ini adalah Sheriff of London Charity Shield yang dimainkan sejak 1898. Ajang ini setiap tahun mempertandingkan klub profesional terbaik dengan klub amatir terbaik. Pada 1904, klub amatir paling terkenal di Inggris pada masa itu, Corinthians mampu membantai juara Piala FA, Bury, dengan skor 10-3!
Mulai 1908, kejuaraan tersebut diubah hanya memakai nama Charity Shield. Pada 1974, Sekretaris FA, Ted Croker, memprakarsai The FA Charity Shield sebagai ajang yang dimainkan di Wembley menjelang musim kompetisi baru dimulai. Pertandingan pun harus mempertemukan juara liga dan juara Piala FA. Aturan itu mengangkat gengsi Shield karena sebelumnya pertandingan berpindah-pindah dan sering melibatkan tim yang tidak mendapatkan prestasi apa-apa pada musim sebelumnya.
Ketika Wembley direnovasi, tujuh penyelenggaraan Shield pada 2001-2007 digelar di Stadium Millennium, Cardiff, dan setelah renovasi kelar, pertandingan kembali ke New Wembley. Shield menjadi salah satu partai domestik terpenting ketika disaksikan oleh 63.317 penonton yang mempertandingkan Arsenal melawan Manchester United, Agustus 2004.
Shield bukan hanya pertandingan di lapangan, tetapi memiliki makna yang lebih dalam karena sejak awal pentas ini merupakan laga amal sebagai bantuan yang disalurkan Community Shield Fund untuk klub-klub di komunitas sepak bola terbawah serta kegiatan-kegiatan amal di seluruh Inggris. Pengumpulan dana diperoleh dari penjualan tiket dan penjualan buku program pertandingan. Bantuan tersebut diberikan kepada klub-klub yang bertanding pada putaran pertama Piala FA dan disumbangkan melalui FA Charity Partners atau partner-partner amal Football Association.
Tahun lalu misalnya, Community Shield Fund menyumbang Farleigh Hospice dam Broomfield Hospital’s Intensive Care Unit dan awal tahun 2009 memberikan bantuan kepada Hartlepool Hospice, Butterwick Children's Hospice, dan Great North Air Ambulance.
“Ini contoh nyata dari semangat community dan saya ingin berterima kasih atas nama pasien dan keluarganya,” kata Debbie de Boltz, Corporate Fundraiser dari Fairleigh Hospice.
Secara jumlah mungkin tidak terlalu besar karena Community Shield Fund membantu dalam jumlah 1.666 pound hingga 5.000 pound atau sekitar 25 juta hingga 75 juta rupiah. Dana yang dikumpulkan dari 1974 hingga 2000, sebelum Wembley direnovasi, pun terhitung hanya 5 juta pound atau sekitar 76 miliar. Tapi, dorongan dan rutinitas bantuan yang diberikan lebih bermakna dari pada menjiplak nama tapi tidak tahu maknanya.
Apakah Community Shield ala PSSI dijiwai makna seperti Community Shield yang asli? Padahal kita tengah prihatin oleh berbagai bencana khususnya gempa di Padang, Jambi, dan Tasikmalaya. Dan saya sih lebih bangga jika ajang itu diberi nama Piala Ramang atau Piala Maladi seperti di Belanda yang bangga dengan nama Johan Cruijff Schall untuk ajang serupa yang mempertemukan juara liga dan piala domestik.
Negara-negara lain juga punya nama dengan bahasa sendiri seperti Supercoppa Italiana, DFB-Ligapokal, atau Supercopa de Espana. Di Thailand ada Kor Royal Cup dan di Malaysia, yang dianggap suka menjiplak karya negeri ini, juga lebih suka memakai nama Sultan Haji Ahmad Shah Cup. Kenapa kita tiba-tiba memakai nama Community Shield?
Sama halnya dengan Copa yang dipakai untuk nama kejuaraan domestik kasta kedua setelah liga. Kata Copa diambil dari bahasa Spanyol dan Portugis yang artinya piala. Kenapa tidak bangga dengan memakai nama Piala PSSI? Di negara-ngera lain pun mereka bangga dengan memakai bahasa dan federasi sepakbola sendiri seperti FA Cup, DFB Pokal, Coupe de France, Copa del Rey, dan KNVB Beker. Atau seperti halnya di atas, kita tentu akan sangat bangga jika pahlawan sepak bola kita dipakai untuk kejuaraan itu seperti Piala Maladi, Piala Ramang, atau Piala Pattinasarani. Nama Copa terasa janggal dan jangan sampai salah kaprah seperti di sebuah televisi ada yang pernah menyebut Piala Copa untuk kejuaraan tersebut. Piala Copa???Community Shield, PSSI Lupa Kulit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
tuliskanlah kata-katamu sendiri, sesukamu...kawan...