Hanya
tersenyum ketika mendengar ajang bernama Community Shield yang
mempertemukan Persipura (juara Liga Super) dan Sriwijaya FC (juara
Piala Indonesia). Kejuaraan yang di banyak negara disebut Super Cup
alias Piala Super ini pasti menjiplak dari Inggris, satu-satunya negara
yang memakai nama tersebut, selain penirunya.
Apa
yang ada di benak pencetus nama Community Shield? Apa paham sejarah dan
makna Community Shield? Kenapa melupakan kulit dan tidak bangga memakai
bahasa atau nama yang diambil dari sejarah sepak bola negeri sendiri?
Community Shield juga lahir dari proses panjang sejarah sepak bola
mereka.
Rasanya lebih pas jika memakai nama Piala Super, bahkan
lebih terhormat jika mamakai nama pejuang sepak bola untuk menghargai
jasa-jasa mereka. Pendiri PSSI, Ir. Soeratin Sosrosoegondo sudah
diabadikan untuk kejuaraan Liga Remaja U-18, tapi kita masih memiliki
banyak nama yang bisa dipakai sebagai penghormatan atas perjuangan
mereka misalnya Piala Saelan, Piala Ramang, Piala Witarsa, Piala
Ramlan, Piala Maladi, atau Piala Pattinasarani.
Maulwi Saelan,
Ramang, Endang Witarsa, dan Ramlan Yatim adalah sebagian pemain kunci
tim nasional saat mengharumkan nama Indonesia di Olimpiade 1956 di
Melbourne, Australia. Perjuangan mereka di dalam maupun di luar
lapangan patut menjadi anutan.
Di Melbourne mereka menahan Uni
Soviet 0-0 pada 29 November. Ketika itu sepak bola belum mengenal adu
penalti sehingga pertandingan diulang dua hari kemudian. Padahal
Indonesia hanya menyiapkan 13 pemain dan ironisnya 2 pemain yakni Siang
Liong Phwa dan Ashari Danoe cedera pada pertemuan pertama. Sedangkan
Uni Soviet menyiapkan 18 pemain termasuk bintang-bintangnya dalam
kondisi fit seperti Sergei Salnikov, Valentin Ivanov, serta tentu saja
kiper legendaris, Lev Yashin. Indonesia akhirnya menyerah 0-4.
Dalam
dua pertandingan tersebut, Saelan, sebagai kiper harus berjibaku
menahan gempuran pemain-pemain Uni Soviet. Perjuangan Saelan bukan
hanya di lapangan, tapi ia juga pernah memimpin PSSI pada 1964-1967. Di
karier tentara, Saelan sempat menjadi Wakil Komandan Yon VII/CPM
Makassar, lantas kepala staf dan wakil komandan Resimen Tjakrabirawa,
serta ajudan Presiden Soekarno, menjelang kejatuhan sang presiden
sehingga ia termasuk salah satu saksi sejarah yang memahami kehidupan
Soekarno di akhir kariernya.
Endang Witarsa adalah dokter gigi
yang sangat cinta sepak bola dan mengabdikan hidupnya untuk dunia sepak
bola sejak muda hingga meninggal di usia 91 tahun. Pada era sebagai
pemain, ia memberikan beberapa gelar juara seperti Piala Raja Thailand
1968 dan Merdeka Games Malaysia 1969. Sedangkan sebagai pelatih, Endang
menghasilkan banyak pemain top seperti Risdianto, Iswadi Idris, Yudo
Hadianto, Ronny Paslah, Warta Kusumah, Surya Lesmana, Bambang Sunarto,
Sucipto Suntoro, hingga Widodo C. Putro.
Ramang merupakan
penyerang yang sangat ditakuti di era 1950-an, bukan hanya di Indonesia
tapi juga di Asia. Pada tahun 1954 saat rangkaian pertandingan melawan
Filipina, Hong Kong, Thailand, dan Malaysia, sosok yang berprofesi
sebagai tukang becak dan kenek truk itu, mencetak 19 gol dari 25 gol
yang dihasilkan Indonesia.
Ramlan Yatim adalah kapten tim ketika
melawan Uni Soviet. Pengalaman yang membuatnya matang untuk memimpin
timnas. Ia tercatat sebagai pemain Indonesia pertama yang bermain di
luar negeri yakni untuk Penang dan Singapura pada akhir 1940-an.
R.
Maladi adalah kiper tangguh di awal pembentukan tim PSSI pada tahun
1930-an. Kalau saja NIVU (Nederlandsh Indische Voetbal Unie) tidak
mengingkari perjanjian dengan PSSI, bisa jadi Maladi yang tampil di
Piala Dunia 1938 di Prancis.
Pada 1938, negeri ini diundang
untuk tampil di Coupe du Monde. NIVU dan PSSI kemudian membuat
kesepakatan pada 5 Januari 1937, salah satu butirnya yakni dilakukan
pertandingan antara tim bentukan NIVU melawan tim bentukan PSSI sebelum
diberangkatkan ke Piala Dunia atau semacam seleksi tim.
Namun,
NIVU melanggar perjanjian dan memberangkatkan tim bentukannya. NIVU
pasti tidak mau kehilangan muka karena PSSI di masa itu memiliki tim
yang kuat, termasuk kipernya adalah Maladi. Hal itu membuat Soeratin
sangat marah dan PSSI lantas membatalkan secara sepihak perjanjian
dengan NIVU saat Kongres PSSI di Solo pada 1938.
Tim yang
diberangkatakan NIVU merupakan campuran pemain berdarah Belanda dan 9
pemain keturunan cina dan pribumi. Beberapa nama melayu yang tampil di
Coupe du Monde adalah Achmad Nawir, Anwar Sutan, dan Soedarmadji.
Tetapi, mereka tidak dianggap sebagai kebanggaan wakil Indonesia karena
bentukan NIVU dan tampil dengan memakai bendera Dutch East Indies.
Mereka pun langsung tersingkir setelah dibantai 0-6 oleh Hongaria dari
babak awal.
Pendirian PSSISepak bola
Indonesia sudah tumbuh sejak awal 1900. Klub pertama yang didirikan di
Hindia Belanda konon di Surabaya oleh John Edgar pada 1895. Kemudian di
Padang berdiri klub pertama dengan nama Padangsche Voetbal Club pada
1901. Selanjutnya pada 2 November 1915 dilahirkan Makassar Voetbal Bond
(MVB) dan menjadi embrio klub PSM. Empat tahun berselang, Indonesische
Voetbal Bond Magelang (IVBM) yang kini menjadi PSSM Magelang lahir pada
1919.
Selanjutnya klub-klub sepakbola menyebar ke berbagai
daerah. Pada 1923 di Solo didirikan Vorstenlandsche Voetbal Bond (VVB)
yang menjadi awal kelahiran Persis Solo. Di era 1930 dan 1940-an, VVB
menjadi salah satu basis kekuatan sepak bola dan kerap menjadi juara
nasional. Setelah itu Soerabhaiasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB)
kini menjadi Persebaya dibentuk pada 1927, disusul Voetbalbond
Indonesische Jakarta (VIJ) yang menjadi cikal bakal Persija pada 1928.
Kemudian pada 5 September 1929, Persatuan Sepak Raga Mataram (PSM)
didirikan, dan berubah nama menjadi PSIM pada 27 Juli 1930.
Diprakarsai
oleh Soeratin, bersama Daslam Hadiwasito, A. Hamid, dan M. Amir
Notopratomo (pengurus PSM), serta Sjamsoedin (VIJ/saat itu masih
mahasiswa RHS), Gatot (BIVB), Kartodarmoedjo (MVB), E.A. Mangindaan
(IVBM/saat itu masih menjadi siswa HKS atau Sekolah Guru dan juga
kapten tim IVBM), Pamoedji (SIVB), dan Soekarno (VVB, bukan Bung Karno)
pada 19 April 1930 bertemu untuk membahas pendirian Persatoean Sepak
Raga Seloeroeh Indonesia (PSSI) di Societeit Hadiprojo Yogyakarta.
BIVB
adalah Bandoeng Inlandsche Voetbal Bond yang kemudian menjadi Persib
secara resmi lahir pada 1933, tapi sebetulnya sudah ada beberapa tahun
sebelumnya termasuk turut memprakarsai pendirian Persatoean Sepak Raga
Seloeroeh Indonesia yang selanjutnya diubah menjadi Persatuan Sepak
Bola Seluruh Indonesia dan menetapkan Ir. Soeratin sebagai ketua umum
pertama.
Soeratin lahir pada 17 Desember 1898 di Yogyakarta.
Ayahnya adalah R. Soesrosoegondo, seorang guru dan pengarang buku.
Istri Soeratin yakni R. A. Srie Woelan adalah adik kandung Dr Soetomo,
tokoh pendiri Budi Utomo. Soeratin menyelesaikan sekolah dari KWS
(Koningen Wilhelmina School) di Jakarta, kemudian pada 1920 melanjutkan
sekolah ke Sekolah Teknik Tinggi di Hecklenburg, Jerman.
Soeratin
menyelesaikan kuliah pada 1927 dan setahun kemudian pulang untuk
bekerja di perusahaan konstruksi besar milik Belanda yakni Sizten en
Lausada yang berpusat di Yogyakarta. Disana ia menjadi satu–satunya
orang pribumi yang duduk dalam jajaran petinggi perusahaan dengan gaji
tinggi.
Soeratin memandang sepak bola bisa menjadi alat
pemersatu dan menjadi wujud dari Sumpah Pemuda yang dikumandangkan pada
1928. Ia bahkan memilih untuk meninggalkan pekerjaan demi berjuang
melalui sepak bola, mendirikan PSSI dan kompetisi secara rutin sejak
1931.
Pada era 50-an, tepatnya sewaktu Indonesia tampil di
Olimpiade 1956, giliran Maladi yang memimpin PSSI (1950-1959). Di masa
itu, Maladi mendatangkan pelatih Yugoslavia, Antun "Toni" Pogacnik
untuk menangani timnas pada 1954-1959. Setelah memimpin PSSI, Maladi
diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi Menteri Penerangan 1959-1962
dan kemudian Menteri Olah Raga 1962-1967.
Dari generasi yang
lebih muda, ada Ronny Pattinasarani, kapten timnas yang melejit di era
1970-1980-an. Ia adalah pemain kunci saat timnas meraih perak pada SEA
Games 1979 dan 1981, serta pernah masuk pemain Asia All-Star 1982.
Intinya sejarah panjang telah mewarnai perjalanan sepak bola Indonesia.
Banyak yang bisa kita jadikan anutan, bukan malah menjiplak karya dan
sejarah orang lain.
Makna Community ShieldCommunity
Shield di Inggris lahir dari berbagai liku perjalanan sejarah sepak
bola di negeri tersebut. Embrio kejuaraan ini adalah Sheriff of London
Charity Shield yang dimainkan sejak 1898. Ajang ini setiap tahun
mempertandingkan klub profesional terbaik dengan klub amatir terbaik.
Pada 1904, klub amatir paling terkenal di Inggris pada masa itu,
Corinthians mampu membantai juara Piala FA, Bury, dengan skor 10-3!
Mulai
1908, kejuaraan tersebut diubah hanya memakai nama Charity Shield. Pada
1974, Sekretaris FA, Ted Croker, memprakarsai The FA Charity Shield
sebagai ajang yang dimainkan di Wembley menjelang musim kompetisi baru
dimulai. Pertandingan pun harus mempertemukan juara liga dan juara
Piala FA. Aturan itu mengangkat gengsi Shield karena sebelumnya
pertandingan berpindah-pindah dan sering melibatkan tim yang tidak
mendapatkan prestasi apa-apa pada musim sebelumnya.
Ketika
Wembley direnovasi, tujuh penyelenggaraan Shield pada 2001-2007 digelar
di Stadium Millennium, Cardiff, dan setelah renovasi kelar,
pertandingan kembali ke New Wembley. Shield menjadi salah satu partai
domestik terpenting ketika disaksikan oleh 63.317 penonton yang
mempertandingkan Arsenal melawan Manchester United, Agustus 2004.
Shield
bukan hanya pertandingan di lapangan, tetapi memiliki makna yang lebih
dalam karena sejak awal pentas ini merupakan laga amal sebagai bantuan
yang disalurkan Community Shield Fund untuk klub-klub di komunitas
sepak bola terbawah serta kegiatan-kegiatan amal di seluruh Inggris.
Pengumpulan dana diperoleh dari penjualan tiket dan penjualan buku
program pertandingan. Bantuan tersebut diberikan kepada klub-klub yang
bertanding pada putaran pertama Piala FA dan disumbangkan melalui FA
Charity Partners atau partner-partner amal Football Association.
Tahun
lalu misalnya, Community Shield Fund menyumbang Farleigh Hospice dam
Broomfield Hospital’s Intensive Care Unit dan awal tahun 2009
memberikan bantuan kepada Hartlepool Hospice, Butterwick Children's
Hospice, dan Great North Air Ambulance.
“Ini contoh nyata dari
semangat community dan saya ingin berterima kasih atas nama pasien dan
keluarganya,” kata Debbie de Boltz, Corporate Fundraiser dari Fairleigh
Hospice.
Secara jumlah mungkin tidak terlalu besar karena
Community Shield Fund membantu dalam jumlah 1.666 pound hingga 5.000
pound atau sekitar 25 juta hingga 75 juta rupiah. Dana yang dikumpulkan
dari 1974 hingga 2000, sebelum Wembley direnovasi, pun terhitung hanya
5 juta pound atau sekitar 76 miliar. Tapi, dorongan dan rutinitas
bantuan yang diberikan lebih bermakna dari pada menjiplak nama tapi
tidak tahu maknanya.
Apakah Community Shield ala PSSI dijiwai
makna seperti Community Shield yang asli? Padahal kita tengah prihatin
oleh berbagai bencana khususnya gempa di Padang, Jambi, dan
Tasikmalaya. Dan saya sih lebih bangga jika ajang itu diberi nama Piala
Ramang atau Piala Maladi seperti di Belanda yang bangga dengan nama
Johan Cruijff Schall untuk ajang serupa yang mempertemukan juara liga
dan piala domestik.
Negara-negara lain juga punya nama dengan
bahasa sendiri seperti Supercoppa Italiana, DFB-Ligapokal, atau
Supercopa de Espana. Di Thailand ada Kor Royal Cup dan di Malaysia,
yang dianggap suka menjiplak karya negeri ini, juga lebih suka memakai
nama Sultan Haji Ahmad Shah Cup. Kenapa kita tiba-tiba memakai nama
Community Shield?
Sama halnya dengan Copa yang dipakai untuk nama kejuaraan domestik
kasta kedua setelah liga. Kata Copa diambil dari bahasa Spanyol dan
Portugis yang artinya piala. Kenapa tidak bangga dengan memakai nama
Piala PSSI? Di negara-ngera lain pun mereka bangga dengan memakai
bahasa dan federasi sepakbola sendiri seperti FA Cup, DFB Pokal, Coupe
de France, Copa del Rey, dan KNVB Beker. Atau seperti halnya di atas,
kita tentu akan sangat bangga jika pahlawan sepak bola kita dipakai
untuk kejuaraan itu seperti Piala Maladi, Piala Ramang, atau Piala
Pattinasarani. Nama Copa terasa janggal dan jangan sampai salah kaprah
seperti di sebuah televisi ada yang pernah menyebut Piala Copa untuk
kejuaraan tersebut. Piala Copa???
Community Shield, PSSI Lupa Kulit